Isu mengenai kesejahteraan guru honorer di Indonesia terus menjadi perhatian. Terbaru, muncul wacana mengenai sertifikasi tambahan yang diharapkan dapat meningkatkan kompetensi sekaligus taraf hidup para pendidik non-PNS ini. Kebijakan ini tentu disambut dengan antusias oleh sebagian besar guru honorer yang telah lama menantikan pengakuan dan peningkatan status yang lebih baik. Namun, di sisi lain, muncul pula pertanyaan dan kekhawatiran terkait mekanisme pelaksanaan dan dampaknya secara keseluruhan.
Menurut data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) per tanggal 17 Agustus 2024, jumlah guru honorer di seluruh Indonesia mencapai lebih dari satu juta orang. Mereka memiliki peran krusial dalam mencerdaskan anak bangsa, seringkali dengan fasilitas dan perlakuan yang jauh berbeda dibandingkan dengan guru berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). Oleh karena itu, wacana sertifikasi tambahan ini dianggap sebagai langkah maju dalam memberikan keadilan dan pengakuan yang lebih layak bagi dedikasi mereka.
Salah satu poin penting dalam wacana ini adalah peningkatan kompetensi. Sertifikasi tambahan diharapkan dapat memacu guru untuk terus mengembangkan diri dan meningkatkan kualitas pengajaran. Proses sertifikasi kemungkinan akan melibatkan serangkaian ujian dan penilaian yang komprehensif, menguji kemampuan pedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian guru. Hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang mengamanatkan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Namun, implementasi sertifikasi tambahan ini juga berpotensi menimbulkan tantangan. Salah satunya adalah kesiapan guru dalam menghadapi proses sertifikasi. Tidak semua guru honorer memiliki akses yang sama terhadap sumber belajar dan pelatihan yang memadai. Selain itu, biaya sertifikasi juga bisa menjadi kendala bagi sebagian guru honorer dengan kondisi ekonomi yang terbatas. Pemerintah diharapkan dapat mengantisipasi hal ini dengan menyediakan program pelatihan dan bantuan biaya yang terjangkau.
Lebih lanjut, kejelasan mengenai implikasi sertifikasi tambahan terhadap status dan perlakuan guru juga menjadi pertanyaan penting. Apakah sertifikasi ini akan secara otomatis meningkatkan gaji dan tunjangan mereka? Atau apakah ini hanya menjadi syarat tambahan tanpa perubahan signifikan pada kesejahteraan finansial? Serikat Guru Honorer Nasional (SGHN) dalam konferensi pers di Jakarta pada hari Senin, 12 Mei 2025, menyampaikan harapan agar sertifikasi ini tidak hanya menjadi formalitas, tetapi juga membawa dampak nyata pada peningkatan kualitas hidup guru.
Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) sedang mengkaji berbagai opsi terkait mekanisme dan implementasi sertifikasi tambahan ini. Beberapa opsi yang mencuat antara lain pelaksanaan sertifikasi secara bertahap, pemberian kuota khusus untuk guru honorer, dan penyediaan program pendampingan intensif sebelum pelaksanaan sertifikasi. Kepala Divisi Humas Polri, Kombes Pol. Budi Santoso, saat diwawancarai di Gedung Mabes Polri pada hari Kamis, 8 Mei 2025, menekankan pentingnya transparansi dan sosialisasi yang efektif agar informasi mengenai sertifikasi ini dapat diterima dengan baik oleh seluruh guru honorer di Indonesia.
Wacana sertifikasi tambahan bagi guru honorer ini menyimpan harapan besar untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan kesejahteraan para pendidik. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada keseriusan pemerintah dalam merancang dan mengimplementasikan kebijakan yang adil, transparan, dan berpihak pada kepentingan guru honorer. Dengan perencanaan yang matang dan dukungan dari berbagai pihak, sertifikasi tambahan ini diharapkan dapat menjadi angin segar yang membawa perubahan positif bagi masa depan guru honorer di Indonesia.